Sidang Tambang Nikel Haltim, PT WKM Bongkar Dugaan Perambahan Hutan Rugikan Negara
JAKARTA, iNewsTernate.id – Sengketa tambang nikel di Halmahera Timur (Haltim) masih berlanjut. Sidang lanjutan perkara yang melibatkan PT WKM melawan PT P yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Rabu (1/10) berlangsung tegang setelah saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dinilai inkonsisten dalam memberikan keterangan.
Saksi yang dihadirkan adalah PS selaku Kepala Balai Pengelolaan Hutan Lestari (BPHL) Wilayah XVI Ambon.
Dalam sidang, saksi berulang kali dianggap memberikan jawaban yang inkonsisten, bahkan berbeda dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Banyak pertanyaan mengenai legalitas dan aktivitas PT WKM tidak mampu dijawab dengan jelas.
Kuasa hukum PT WKM, Rolas Sitinjak, menilai saksi sama sekali tidak menguasai fakta di lapangan.
“Majelis hakim sendiri sempat menyindir bahwa saksi ini kadang ingat, kadang lupa. Ini jadi seperti buang-buang waktu saja,” tegas Rolas usai sidang.
Ketika majelis hakim bertanya apakah saksi pernah melihat langsung lokasi perkara di Halmahera Timur, jawabannya mengejutkan.
“Pertanyaan kami, saudara sudah pernah ke tempat kejadian perkara yang sebenarnya?” tanya hakim.
“Belum pernah,” jawab saksi singkat.
Pengakuan ini membuat keterangan saksi dianggap lemah dan tidak berbasis fakta lapangan.
Selain soal kredibilitas saksi, kuasa hukum PT WKM juga menyoroti dugaan kerugian negara dari pembukaan jalan koridor sepanjang 11 kilometer oleh PT P. Jalan tersebut digunakan untuk mengangkut hasil tambang menuju pabrik.
Menurut Rolas, setiap kayu yang ditebang seharusnya memiliki izin yang sah dari pemilik Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan masuk dalam Rencana Kerja Tahunan (RKT).
Namun, saksi tidak bisa memastikan apakah kayu dari jalur itu sudah dibayar kepada negara atau tidak.
“Bayangkan, jalan sepanjang 11 kilometer dibuka, tapi saksi tidak tahu apakah kayunya sudah dibayar, apakah izinnya ada atau tidak. Ini jelas berpotensi merugikan negara,” ujar Rolas.
Lebih jauh, ia menegaskan saksi juga tidak mampu menjelaskan batas kewenangan perusahaan pemegang izin hutan dengan PT Position. Bahkan, lebar jalan yang dibuka disebut mencapai lebih dari 100 meter, jauh di atas aturan yang hanya memperbolehkan sekitar 40 meter.
“Kalau memang jalan itu dibuka tanpa dasar RKT, maka jelas ada perambahan. Ini salah satu kejahatan kehutanan paling serius setelah korupsi uang negara,” kata Rolas.
Sidang juga membuka perbedaan tafsir antarinstansi pemerintah. Saksi dari balai kehutanan menyebut pembangunan jalan tidak memerlukan aturan tambahan, sementara pihak dinas sebelumnya menegaskan izin khusus tetap wajib.
“Hal ini membingungkan masyarakat sekaligus membuka celah hukum. Padahal hutan kita adalah tanggung jawab negara,” tegas Rolas.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta