Dua Karyawannya Dituntut 3,5 Tahun, PT WKM Tegaskan Ada Kriminalisasi Sengketa Tambang Nikel Haltim
JAKARTA, iNewsTernate.id — Sidang sengketa tambang nikel antara PT WKM dan PT P kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Rabu (3/12).
Di sidang ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan tuntutan bagi dua karyawan PT WKM, Awwab Hafiz dan Marcel Bialemvang yang dijadikan terdakwa dalam kasus pemasangan patok.
Keduanya dituntut tiga tahun enam bulan penjara dan denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Tuntutan itu kontan menuai penolakan keras dari tim kuasa hukum PT WKM, OC Kaligis dan Rolas Sitinjak,
Keduanya menilai tuntutan ini semakin memperjelas bentuk kriminalisasi terhadap upaya perusahaan mencegah dan melindungi wilayah Izin Usaha Tambang (IUP) PT WKM dari dugaan illegal mining.
OC Kaligis menyebut dakwaan JPU tidak logis. Menurutnya, pagar yang dipersoalkan dalam perkara ini dipasang di dalam IUP PT WKM, dan merupakan langkah pengamanan untuk mencegah penambangan liar oleh pihak lain.
“Ini dakwaannya tentang pasang pagar di rumah sendiri. Dan pagarnya tidak pernah diperlihatkan sebagai barang bukti di pengadilan,” kata Kaligis.
Ia mengungkapkan bahwa PT WKM sebelumnya telah melaporkan dugaan illegal mining oleh PT Position kepada Bareskrim Polri.
Gelar perkara yang digelar di Bareskrim bahkan disebut menyimpulkan bahwa tindakan PT WKM tidak menyalahi aturan.
“Gelar perkaranya disaksikan PT P dan mereka tidak keberatan. Tapi anehnya tidak ditindaklanjuti. Penambangan ilegal yang kami laporkan tidak disentuh, justru klien kami yang dituntut,” ujarnya.
Ditambahkan Rolas Sitinjak, proses hukum dalam kasus ini janggal dan berpotensi menyalahi asas kepastian hukum.
Ia menjelaskan bahwa perkara ini bermula dari laporan PT WKM terhadap PT Position atas dugaan penambangan nikel ilegal di dalam wilayah PT WKM.
“Polda Maluku turun, dicek, hasilnya: benar ada illegal mining. Lokasinya dipasang police line. Tapi tak lama kemudian kasusnya di-SP3. Lalu tiba-tiba PT P melapor balik dengan objek yang sama. Kini klien kami yang malah dipenjara,” tandas Rolas.
Ia menilai perbedaan pandangan antara Polda Maluku Utara dan aparat di Jakarta menimbulkan dugaan ketidakkonsistenan penegakan hukum.
“Polisi Maluku Utara bilang ini bukan pidana. Polisi Jakarta bilang pidana. Mana yang benar? Ini ironis,” tandas Rolas lagi.
Dalam persidangan, JPU berpendapat bahwa tindakan Awwab dan Marcel memenuhi unsur pelanggaran dalam UU Kehutanan dan ketentuan dalam UU Cipta Kerja, khususnya terkait pemasangan patok yang dinilai mengganggu kegiatan PT P.
JPU juga memasukkan unsur “menciptakan konflik dan memperkeruh situasi nasional” dalam pertimbangannya.
Soal ini, OC Kaligis menyebut argumentasi JPU itu tidak berdasar.
“Yang memperkeruh justru kata JPU. Tidak ada yang berbelit-belit dari kami,” katanya.
Rolas juga menambahkan, saksi kunci yang menandatangani perjanjian kerja sama, yakni Jakob Supamena selaku Dirut PT WKS. Dan saat dipanggil menjadi saksi justru tidak pernah hadir.
“Dipanggil tujuh kali, tujuh kali juga tidak datang. Tapi klien kami yang dituding memperkeruh dan mengganggu ekonomi nasional. Ini sangat janggal," tegas Rolas.
Ia juga menilai tuntutan denda Rp1 miliar terhadap karyawan yang hanya menjalankan perintah perusahaan adalah bentuk ketidakadilan hukum.
“Gaji mereka berapa? Mereka tidak diuntungkan apa pun. Tapi dituntut Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Besok-besok Anda pasang pagar di rumah Anda, bisa masuk penjara,” tandas Rolas.
Sidang ini sendiri akan dilanjutkan dengan agenda pleidoi atau pembelaan dari kuasa hukum dan para terdakwa pada pekan depan.
Baik OC Kaligis dan Rolas Sitinjak berharap majelis hakim mempertimbangkan keseluruhan proses sejak perkara ini bermula.
“Kami harap majelis hakim menjalankan keadilan dengan hati nurani,” ucap Kaligis.
Editor : Vitrianda Hilba Siregar