Menghayati Ketenangan Politik Husain Alting Sjah dalam Bisingnya Demokrasi di Maluku Utara

Tim iNews Ternate
Demokrasi liberal adalah panggung yang gaduh. Ia dipenuhi slogan, manipulasi opini, dan kompromi yang sering kali mengorbankan kepentingan rakyat. Foto: Ilustrasi

OPINI Oleh: Muhammad Nofit Latara, Koordinator Pusat Mahasiswa Maluku Utara Jakarta Jawa

DEMOKRASI liberal adalah panggung yang gaduh. Ia dipenuhi slogan, manipulasi opini, dan kompromi yang sering kali mengorbankan kepentingan rakyat. Dalam kebisingan ini, ketenangan politik Husain Alting Sjah menjadi sebuah antitesis yang mencolok. Bukan karena ia membungkam suara, tetapi karena ia memahami, sebagaimana Marx pernah menyebutkan, “Manusia membuat sejarahnya sendiri, tetapi mereka tidak membuatnya sekehendak hati mereka; mereka tidak membuatnya dalam keadaan yang mereka pilih sendiri, tetapi dalam keadaan yang langsung dihadapi, diberikan, dan diteruskan dari masa lalu.”

Husain Alting Sjah bukan sekedar tokoh politik; ia adalah produk dialektis dari kontradiksi zaman, yang memahami bahwa politik bukanlah sekadar seni merebut kekuasaan, tetapi instrumen sejarah untuk melahirkan perubahan yang berpihak pada rakyat. Ketenangannya adalah strategi yang dibangun dari pemahaman mendalam bahwa perubahan tidak terjadi dalam kebisingan, tetapi melalui kerja panjang, kesadaran kolektif, dan keberpihakan yang tegas pada keadilan.

Tradisi Sebagai Senjata Perlawanan

Sejarah adalah arena perjuangan kelas yang terus bergerak. Maluku Utara, dengan segala kekayaan sumber daya alamnya, adalah contoh nyata dari kontradiksi kapitalisme modern. Tambang-tambang nikel dan emas yang seharusnya menjadi berkah, malah menjadi ladang eksploitasi yang memperparah ketimpangan. Di sinilah Husain Alting Sjah hadir, tidak hanya sebagai pemimpin, tetapi sebagai representasi dari kehendak rakyat yang ingin merebut kembali kedaulatan atas tanah dan kehidupannya.

Sebagai pewaris tradisi Kesultanan di Moloku Kie Raha, ia membawa visi politik yang melampaui demokrasi liberal yang sering kali terjebak dalam ilusi kebebasan. Tradisi bukanlah romantisme belaka, melainkan senjata ideologis yang ia gunakan untuk melawan ketidakadilan struktural. Husain Alting Sjah memahami bahwa tradisi adalah bagian dari sejarah yang terus bergerak, bernegosasi dengan modernitas tanpa kehilangan esensinya.

Hari Esok: Medan Pertarungan Dialektis

H-1 adalah momen penentuan. Esok, rakyat Maluku Utara tidak sekedar mencoblos nama tetapi mereka memilih antara mempertahankan hegemoni oligarki atau membuka jalan bagi transformasi sosial. Dalam lensa Materialisme Dialektika Historis ; demokrasi adalah arena perjuangan kelas di mana suara rakyat sering kali dikooptasi oleh kepentingan modal.

Namun, ketenangan Husain Alting Sjah menunjukkan arah baru. Ia menolak terjebak dalam kegaduhan politik transaksional yang menjadikan rakyat hanya alat untuk kepentingan sesaat. Ketenangan ini bukan pasifisme, tetapi keberanian untuk menghadapi sistem yang korup dengan mengorganisasi kekuatan rakyat secara strategis.

Sebagaimana Gramsci pernah menulis, “Dalam setiap pertempuran, optimisme kehendak harus mengatasi pesimisme intelek.” Husain Alting Sjah adalah manifestasi dari optimisme itu. Ia memahami bahwa perjuangan bukan tentang seberapa besar suara yang diteriakkan, tetapi tentang seberapa dalam akar yang ditanamkan.

Ketenangan sebagai Strategi Revolusioner

Dalam konteks politik hari ini, ketenangan Husain Alting Sjah adalah bentuk perlawanan terhadap narasi hegemoni. Ia memilih untuk tidak larut dalam drama politik, karena ia tahu bahwa revolusi sejati tidak lahir dari kegaduhan, tetapi dari proses panjang pengorganisasian, pembelajaran, dan pembebasan.

Kepada konstituen, esok adalah medan pertempuran kita. Setiap suara yang diberikan adalah pernyataan sikap terhadap sejarah. Dalam kebisingan demokrasi, suara kita adalah senjata yang harus diarahkan untuk menghancurkan hegemoni dan membangun tatanan baru yang adil.

Kemenangan dalam Dialetika Sejarah

Ketika malam ini berlalu, kita tidak hanya menutup satu bab dalam perjuangan ini, tetapi membuka pintu bagi perubahan yang lebih besar. Ketenangan Husain Alting Sjah adalah simbol bahwa pertempuran ini tidak dimenangkan di atas panggung, tetapi di dalam hati dan pikiran rakyat.

Sebagaimana Lenin pernah berkata, “Revolusi adalah pesta bagi yang tertindas.” Esok, pesta itu akan kita rayakan bersama. Dengan Husain Alting Sjah sebagai pemimpin, kita tidak hanya memilih seseorang untuk berkuasa, tetapi memilih masa depan yang lebih berdaulat, adil, dan bermartabat.

Mari kita jemput masa depan itu. Sebab, sebagaimana filosofi “Mari Moi Ngone Futuru” yang kembali kepada akar perjuangan kita dapat melangkah lebih jauh. Sebab hanya dengan kembali kepada akar kita dapat menanam harapan untuk generasi yang akan datang.

Editor : Vitrianda Hilba Siregar

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network